Lompat ke konten

Harmonisasi Konsepsi POAC dan AI

Oleh: Alfa Rezky Ramadhan (Bidang Perkaderan PW IPM Jawa Timur 2016-2018)

Mengenal Appreciative Inquiry sebagai Konsep Pengembangan Program (Usaha Mencari Intisari Buku The Power of Appreciative Inquiry)

Appreciative Inquiry (AI) merupakan sebuah konsepsi pendekatan yang bertumpu pada inti positif. Apabila SWOT bertumpu kepada dua inti yaitu positif dan negatif yang dibatasi leh empat ruang analisa yang ada, AI menawarkan pendekatan dengan inti positif sebagai tumpuan utama. Begitu pula dengan Ansos (Analisis Sosial) yang merupakan pendekatan berorientasi kepada inti negatif, AI mengkonsepsikan cara yang sebaliknya yaitu berorientasi kepada inti positif sebagai landasan analitik. AI juga bersifat future oriented (berorientasi pada masa depan) dan berkarakteristik progresif.

Diana Whitney dan Amanda Trosten dalam bukunya yang berjudul The Power of Appreciative Inquiry mengemukakan bahwa AI adalah studi tentang apa yang memberi kehidupan kepada sistem manusia saat mereka mereka melakukan yang terbaik.[1] Secara umum AI melihat perilaku terbaik manusia sebagai sebuah aset yang dapat dikembangkan. Begitu pula dengan sebuah organisasi yang menjadi kumpulan banyak manusia. Pendekatan ini bertujuan untuk merubah personal manusia dan untuk merubah sebuah organisasi dengan dasar asumsi pertanyaan-pertanyaan dan dialog mengenai kekuatan, kesuksesan, nilai, harapan dan mimpi sebagai inti transformasi.[2] Sehingga AI memiliki kekuatan besar dalam merubah sebuah organisasi sampai ke ranah personal.

Paradigma AI mengarahkan kita kepada pola pikir yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat positif. Penghargaan dan penambahan nilai-nilai positif menjadi fokus utama. AI berusaha untuk menegaskan bahwa masa lalu dan masa depan berusaha untuk dibangun dengan kekuatan, kesuksesan, aset-aset dan potensi-potensi yang ada. Berdasarkan term di atas membuat AI bersifat progresif dan berorientasi masa depan.

Konsepsi AI bukanlah suatu hal yang abstrak. Banyak penelitian dan penerapan yang bersifat ilmiah menyokong konsepsi ini. Bahkan sudah banyak perusahaan dan program-program yang telah membuktikan kekuatan dan manfaat AI. Diana-Amanda menerangkan nahwa AI merupakan sebuah kendaraan yang sangat kuat untuk merubah sistem organisasi. Banyak organisasi yang sudah mendapatkan manfaat dari pemakaian AI. Contohnya AI sudah digunakan dalam pembangunan kapasitas organisasi dalam menggabungkan lalu lintas ahli bangunan dan lalu lintas bagian operasional dalam membangun kota Denver di daerah Colorado, Amerika Serikat. Dalam hal akademik AI juga digunakan sebagai alat pengembangan komunitas yang dibuktikan dengan sebuah program yang dikembangkan oleh  University’s GEM (Global Excellent in Management) dan SIGMA (Social Innovations in Global Management).[3]

AI memiliki sebuah alur sirkulasi yang biasanya disebut 4-D cycle (Sirkulasi 4D). 4D tersebut terdiri dari discovery (penemuan), dream (impian), design (model), dan destiny (rancangan masa depan).

Discovery, merupakan sebuah bagian yang bertujuan melakukan penggalian terhadap inti positif yaitu aset-aset yang ada sebagai inti kekuatan. Diawali dengan sebuah pertanyaan what gives life? (apa yang telah diberikan dalam kehidupan?). Mengupayakan sebuah proses mengapresiasi usaha terbaik yang telah dilakukan oleh suatu organisasi. Bagian ini juga bertujuan untuk membuat peta awal aset-aset terbaik yang ada. Contohnya, HMJ MP memiliki aset para mahasiswa yang sering memenangkan perlombaan debat pendidikan dalam ranah nasional. Hal ini merupakan sebuah aset yang sangat potensial untuk dikembangkan. Analisis aset-aset sebanyak mungkin berguna untuk memberi pondasi awal dalam pola konsepsi 4-D Cycle.

Dream, adalah bagian untuk menentukan visi ideal. Memimpikan visi ideal dengan menggunakan term pertanyaan what could be? (apa yang bisa?) atau what might be? (apa yang mungkin?). Merupakan pertanyaan ringan yang berguna untuk mencari peluang di masa depan. Analisa peluang itulah yang bisa dijadikan sebagai visi ideal. Dengan pertannyaan ini memacu sebuah eksplorasi imajiner segala potensi positif yang bisa dimimpikan. Di sinilah letak strategic opportunities (kesempatan strategi) untuk berinovasi. Bagian ini juga yang menjadikan AI memiliki orientasi masa depan.

Design, bagian yang berbentuk rancangan umum dan strategis dari discovery dan dream. Bagian ini mewujudkan dream yang masih bersifat imajiner menjadi lebih nyata secara diskriptif dengan mengakomodir temuan hasil dari bagian discovery. Bagian ini merupakan ruang untuk berinovasi secara kreatif dalam membuat sebuah model. Pertanyaan yang menjadi dasar dari bagian ini adalah what should be? (apa yang seharusnya?). Maksudnya adalah apa yang seharusnya dilakukan? Apa yang akan dilakukan atau diimplementasikan? Bisa dikatakan bahwa dream merupakan visi dan design merupakan sebuah misi untuk mencapai visi tersebut dengan hasil analisa atau data yang berasal dari discovery. Design ini juga bersifat langkah pengorganisasian agenda aksi.

Bagian selanjutnya adalah Destiny. Bagian ini memang cukup rumit untuk dipahami namun menjadi bagian yang sangat penting. Karena bagian ini menyerap tiga langkah sebelumnya menjadi satu bagian yang lebih nyata. Diawali dengan pertanyaan what will we do? (apa yang akan kita lakukan?). Memaknai bahwa destiny mengandung langkah perwujudan agenda aksi. Selain itu bagian ini juga merupakan sebuah proses mempelajari program yang sedang berjalan. Sehingga bagian ini memicu adanya dukungan terhadap kejadian yang tidak direncanakan dan mengharuskan adanya improvisasi secara kreatif namun tetap proporsional. Sebagian dari destiny bersifat evaluatif sehingga menjadi penghubung ke bagian awal, yaitu discovery.

Semua langkah-langkah di atas dibalut dengan pondasi inti positif. Sehingga orientasi akan lebih bermakna dan lebih ringan. Hal ini disebabkan karna terbuangnya prihal negatif yang ada dan bergeser ke kacamata positif. Ini merupakan salah satu kegunaan AI yaitu sebagai pengembangan sebuah program dan masih banyak fungsi AI lainnya yang bersifat positif. Namun tidak menutup kemungkinan hasil negatif akan didapatkan apabila menggunakan analisa AI dalam penelitian yang mensyaratkan kejujuran dan apa adanya bahkan akan lebih mendalam.

Appreciative Inquiry dalam Konsepsi Manajemen

Konsep manajemen tidak akan bisa lepas dari pengaruh teoritik George R. Terry yang mencetuskan konsepsi POAC (Planning, Organizing, Actuating dan Controling).[4] Bagi para akademisi yang fokus di ranah manajemen maka konsep POAC ini menjadi hal yang lumrah dan sangat sering ditemui. Namun bagaimana apabila konsep POAC dikombinasikan dengan konsep 4-D Cycle milik AI? Proses eksperimental ini memang perlu peta konsep yang jelas. Karakter POAC yang juga merupakan sebuah alur, sesuai dengan 4-D Cycle yang juga berbentuk alur. POAC merupakan sebuah konsepsi yang berjalan secara horizontal, sehingga membutuhkan sebuah penyambung agar dapat berjalan secara sirkulatif ataupun spiral. Penyambung dari alur POAC adalah evaluating (pengevaluasian).

Evaluating merupakan sebuah proses yang banyak menggunakan pendekatan-pendekatan analitik karena dalam bagian ini membahas seluruh alur konsep POAC. Banyak sekali model evaluasi yang bisa digunakan dalam ranah ilmiah. Namun dalam ranah budaya organisasi secara karakter lebih dekat dengan pendekatan Ansos (Analisis Sosial). Analisis sosial yang berorientasi masa lalu memudahkan dalam menganalisis apa saja yang sudah terjadi. Analisis sosial juga cenderung mengarah kepada subjek atau pelaku dalam organisasi. Sehingga mudah untuk menganalisa kekurangan dalam hal komunikasi, tupoksi subjek dan lain sebagainya.

Kombinasi antara AI dan POAC memerlukan analisa yang proporsional. Penempatan setiap bagian harus ditempatkan pada posisi yang benar. Dimulai dari inti positif yang menjadi pondasi dasar dari konsepsi ini. Hal ini bermakna bahwa segala langkah manajerial didasari dengan inti positif. Selanjutnya discovery, dream, dan design merupakan langkah yang masuk dalam ruang lingkup perencanaan. Namun design sendiri juga menjadi jembatan dan bisa masuk ke dalam ruang lingkup pengorganisasian karena di situ juga proses pengorganisasian dilakukan. Pelaksanaan menyatu di antara design dan destiny karena di antara keduanya merupakan strategi pokok dalam pengimplementasian suatu program. Selanjutnya controling dan evaluating yang menjadi penghubung sehingga destiny bisa kembali ke proses discovery sehingga terjadi rebuilding program secara progresif.

[1] Diana Whitney dan Amanda Trosten, The Power of Appreciative Inquiry: A Practical Guide to Positive Change Second Edition, (San Francisco: Berrett-Koehler Publishers, 2010), hlm. 1.

[2] Ibid.

[3] Ibid, hlm. 26.

[4] Planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (pelaksanaan), dan Controling (Supervisi atau pengawasan).

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: