IPMJATIM.OR.ID – Agar tidak mengalami pembiasan, saya harus mengakui bahwa saya bukanlah gamer PUBG atau pun game sejenis lainnya. Saya juga tidak memiliki hasrat apapun dalam perkembangan game online secara umum. Tapi saya senang dengan euphoria teman-teman saya yang bermain game tersebut. Namun keputusan MUI untuk mengkaji pengharaman PUBG jelas menggelitik alam pikir saya. Ada dua pertanyaan yang cukup mengganggelitik; pertama, apakah MUI punya kapabilitas dalam melakukan pengujian ? Kedua, apakah landasan pengujian ini sudah tepat ?
Untuk pertanyaan yang pertama jelas ini menjadi tanda tanya besar, ketika bergulir wacana haramisasi ini saya bersu’udzon secara experience bahwa anggota MUI mungkin tidak pernah memainkan game tersebut. Generasi gamer online dengan MUI juga sangat berbeda dalam segala perpektif. Jika hal ini benar, maka ini akan menjadi hal yang sangat membuat scrimmage karena nasib para gamers dan orang-orang terkait ditentukan oleh otoritas agama yang tidak mengenal game tersebut secara holistik.
Kedua, landasan pengujian fatwa haram ini juga harus dipertanyakan lagi. Sejauh ini landasannya adalah peristiwa penembakan di Christchurch, Selandia Baru, di mana beberapa warganet menganggap tersangka termotivasi oleh game tersebut. Sehingga MUI menilai game ini menjadi salah satu pemantik terjadinya perilaku teror, oleh karena itu, mereka menganggap game ini pantas-pantas saja untuk dihilangkan. Jika MUI hendak merujuk kaidah fiqh yang berbunyi; menghilangkan keburukan lebih utama daripada mendatangkan kebaikan, nahi munkar is better than a amar ma’ruf mungkin MUI harus menjamkan lagi visibilitas dalam memandang apa yang harus dihilangkan itu.
Perilaku teror itu ada di mana-mana, tidak terpaku pada game. Jika game PUBG disebut sebagai salah satu penyebab utama, logikanya maka seharusnya MUI juga mengharamkan game seperti Grand Theft Auto atau Counter Strike yang telah lebih dahulu hadir menghiasi ornamen game Indonesia.
Penyebab seseorang berlaku teror bisa beragam, dan keberadaan game mungkin ada di urutan ke sekian. Selain itu, dari sekian ribu orang Indonesia yang memainkan game ini, berapa besar jumlah orang yang punya kemungkinan untuk melakukan teror. Hal ini layak untuk dijadikan penelitian di bidang psikologi.
DIkutip dari Welle, 2019 dalam Detiknews. Ilmuwan AS Whitney DeCamp dan Christopher J. Ferguson telah melakukan riset pada 9000 anak-anak kelas 8 dan 11 yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat di AS untuk menguji faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi kasar.
Para peneliti merekam intensitas mereka bermain video game brutal, kualitas hubungan dengan orang tua, kekerasan dalam keluarga dan informasi demografik seperti gender, tingkat ekonomi keluarga dan etnisitas.
Penelitian DeCamp dan Ferguson menyimpulkan bahwa kekerasan dalam video game bukan merupakan penyebab utama kekerasan remaja dan, bahwa keluarga dan lingkungan sosial adalah faktor yang lebih berpengaruh dalam membuat seseorang berkelakuan kasar dan brutal.
Mengutip penelitian Adachi dan Willoughby yang berjudul “The Link Between Playing Video Games and Positive Youth Outcomes: Child Development Perspectives”, Mayr menuliskan, beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa video game juga memiliki sisi baik: ada game yang melatih pemecahan masalah dan ada pula yang menggalakkan kerja sama di antara remaja dari berbagai kelompok sosial.
Setelah satu dekade lebih para ilmuwan menyibukkan diri pada riset efek negatif video game, Mayr berpendapat bahwa mungkin kini saatnya, mereka memfokuskan riset pada apakah dan bagaimana video game dapat berkontribusi positif pada perkembangan anak-anak.
Wacana mengharamkan game ini tidaklah berbeda dengan upaya Kemenkominfo untuk memblokir situs porno. Padahal dengan ikhtiar yang lebih, siapa saja bisa membuka situs porno dengan berbagai macam cara dan sukses. Akhirnya kebijakan tersebut malah tidak berguna dan dianggap sebagai buang-buang anggaran. Jika MUI hendak melarang orang Indonesia bermain gim ini, maka niscaya para gamers ini akan menemukan berbagai cara lain untuk tetap bisa memainkannya. Ini yang dinamakan streisand effect, semakin orang itu dilarang maka orang tersebut semakin penasaran dan menjadi-jadi.
Perpektif lain yang memungkinkan pengharaman ini akan mengalami jalan terjal adalah status dan peran MUI itu sendiri. Sesuai dengan produknya, fatwa adalah kesepakatan beberapa ulama tentang suatu hal, namun masyarakat boleh mengikutinya dan boleh tidak.
Fatwa bukanlah sesuatu yang kaku dan mengikat, katakanlah MUI mengharamkan PUBG, maka tidak semua umat muslim Indonesia akan mengikuti fatwa tersebut. Apalagi orang-orang yang beragama Kristen, Katolik, Buddha, Konghucu dan lain-lain, mereka jelas tidak akan mengikuti fatwa tersebut. Belum lagi komunitas-komunitas terkait.
Terkadang saya merasa MUI memiliki rasa percaya diri yang berlebihan, MUI bertugas memberikan pendapat, opini, atau setidaknya sudut pandang. Kekecewaan saya yang lain adalah MUI seolah tak bosan-bosan merumuskan fatwa terhadap sesuatu yang tidak begitu esensial. Fatwa-fatwa MUI belakangan ini cenderung tidak progresif dan kontra-produktif. Ambil saja contoh pengharaman warga negara yang melakukan golput pada pemilihan umum, ini justru akan membuat permasalahan baru di kalangan masyarakat yang tidak puas dengan kondisi demokrasi saat ini.
Selain mungkin karena kapasitasnya, saya merasa MUI terlalu banyak keluar dari koridor. Menetapkan sebuah game boleh dimainkan atau tidak bukanlah wilayah lembaga agama untuk memberikan otoritas. Adapun jika game tersebut berhubungan dengan perilaku yang berlawanan dengan norma-norma sosial, maka psikolog dan ilmuwan sosial lain yang lebih punya hak untuk mengkaji hal ini.
Jangan sampai masyarakat memiliki pandangan bahwa MUI-lah yang berhak menentukan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan. Padahal MUI sama sekali bukanlah lembaga negara, ia adalah badan yang menaungi para ulama untuk berkhidmat dan tempat diskursus gagasan-pikiran segar sosial-kegamaan untuk kemaslahatan bangsa. Namun semua itu harus didasari dengan kesungguhan dan keterbukaan untuk melihat hal-hal yang mampu dan tidak mampu dilakukan oleh MUI. Jika mampu, lakukanlah secara komprehensif sebelum memutuskan dan jika tidak berkolaborasi lah dengan ilmuwan-ilmuwan sosial sebagai pemberi legitimasi yang sesuai dengan kapasitasnya. Yang paling anti-mainstream, baiknya MUI juga diisi selain oleh orang yang memiliki background keagamaan juga diisi oleh background multidisipliner.
Akan lebih baik jika solusi konkretnya adalah membuat semacam tipologi game berdasarkan tingkat rentang usia. Sama seperti saat menonton film, banyak kategori film dari dewasa, remaja, hingga anak-anak. Sehingga terdapat tindakan antisipasi dari setiap kategori tersebut untuk membantu dalam controlling orang dewasa terhadap remaja dan anak-anak yang tetap ingin bermain game tersebut.
**
Opini ditulis oleh Nashir Efendi, Mahasiswa Universitas Brawijaya, Prodi Sosiologi, semester 6.