Lompat ke konten

Mengurai Dikotomi Pendidikan (Paradigma Kritis Sistem Zonasi)

Melihat wajah pendidikan tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang. Pendidikan memiliki konteks yang cukup luas dalam melibatkan berbagai stakeholder. Sehingga mengukur kondisi pendidikan tidak dapat menggunakan sudut pandang pendidikan saja, namun harus melibatkan sudut pandang lain sebagai landasannya. Jika bersama-sama dilihat menggunakan perspektif kritis maka kondisi pendidikan hari ini belum stabil, terlebih adanya “kebiasaan” ganti Menteri maka ganti kebijakan. Kondisi tersebut tentu cukup mengganggu konsistensi dalam stabilitas pendidikan yang berkelanjutan. Pergantian kebijakan dalam suatu sistem tentu hal yang wajar dalam konteks evaluasi, maka evaluasi yang harus dijalankan adalah evaluasi yang membangun serta memperbaiki sistem agar sistem tersebut mampu bertahan sebagaimana mestinya.

Konsep sekolah yang selama ini kita kenal secara formal adalah suatu lembaga pendidikan dengan seperangkat ketentuan formal berdasar aturan-aturan yang telah ditentukan oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Tentu tidak sedikit orang yang setuju dengan hal tersebut, bahwa sekolah merupakan lembaga formal sebagai penyelenggara pendidikan. Namun beberapa dari kita sering lupa bahwa pendidikan tidak mungkin hanya selesai dan tuntas dalam proses pembelajaran di sekolah secara formal. Proses pendidikan yang selama ini dimaknai sebagai proses mencari ilmu sudah harus benar-benar kita pahami secara objektif dan reflektif, apakah benar proses mencari ilmu hanya dapat dilakukan di sekolah?

Sekolah memiliki fungsi formal dan legal dalam dunia pendidikan, maka yang harus dipahami bersama adalah, proses pembelajaran di sekolah adalah proses “legalisasi” atas proses formal yang telah dijalani oleh siswa. Berkaitan dengan ilmu apa yang didapat di sekolah merupakan persoalan lain. Tidak bisa secara kaku kita mengatakan bahwa “proses pembelajaran di sekolah merupakan sarana anak-anak menjadi pintar.” Hal tersebut tentu bertentangan dengan makna ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak pernah menentukan dimana kita harus mendapatkannya. Bisa kita ambil contoh, pengetahuan kita tentang tata krama tidak pernah menjadi bab yang serius untuk dibahas secara detail dalam proses pembelajaran di sekolah, buktinya ilmu tata krama tidak menjadi matapelajaran ujian nasional.

Kondisi formal sekolah tentu akan menjadi pengakuan legal bahwa sesorang telah pernah menjalani proses pembelajaran yang sah dan diakui oleh Pemerintah. Pengakuan tersebut ternyata tidak berhenti di situ saja, ada lebel yang memunculkan kesan dikotomi terhadap pengakuan tersebut. Ada lebel “favorit” yang menambah “gengsi” dalam dunia pendidikan. Adanya lebel “favorit” menjadikan sebuah ketidak percayaan diri pada beberapa sekolah dan siswa yang ingin melangsungkan proses pembelajaran dalam konteks tertentu.

Hal yang mendasar untuk diperhatikan dalam pusaran pro dan kontra pada kebijakan zonasi adalah sudut pandang apa yang digunakan dalam menerjemahkan makna serta fungsi pendidikan yang sesungguhnya. Jika makna serta fungsi pendidikan masih dimaknai sebagai satu-satunya wujud proses pendidikan, maka paradigma yang terbangun adalah sekolah harus mampu memberikan proses pembelajaran secara sempurna, dan seolah-olah tanggung jawab proses pendidikan pada siswa sepenuhnya dibebankan kepada sekolah, sehingga muncul tuntutan bahwa siswa harus sekolah di sekolah “favorit.” Dari sanalah kemudian banyak orang terjebak pada diksi “favorit” yang kemudian secara otomatis ada sekolah yang terkesan “kurang favorit”, sehingga persoalan pendidikan mulai tidak esensial dan substansial, justru banyak yang terjebak pada dikotomi “favorit.”

Substansi pendidikan tidak boleh dibuat kaku dengan dikotomi formal sebagaimana yang selama ini banyak terjadi. Semakin banyak dikotomi dalam dunia pendidikan maka akan semakin banyak muncul ketidak puasan kita terhadap proses pendidikan yang ada, karena proses pendidikan di Indonesia masih terpusat dari atas ke bawah, dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan. Maka salah satu yang dapat diterapkan adalah, kita tidak perlu cemas bahwa adanya sekolah yang “kurang favorit”, namun bagaimana kita mampu mendampingi siswa untuk benar-benar mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin dalam proses pendidikan di luar sekolah. Proses pendidikan bisa dilakukan di masyarakat secara langsung, melalui agenda-agenda kepemudaan yang ada di kampung, organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain. Sehingga pendidikan berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia yang terpusat pada studi masalah secara langsung di masyarakat. Kemudian fungsi sekolah benar-benar menjadi lembaga formal pendidikan untuk memfasilitasi “legalisasi” pendidikan siswa.

Sistem zonasi tetap harus dikaji secara menyeluruh agar tidak terjadi fenomena gagal paham di tengah-tengah masyarakat yang berdampak pada ketidak puasan dan ketidak percayaan masyarakat terhadap marwah pendidikan di Indonesia. Selain itu dampak sistem zonasi juga tidak perlu ditanggapi secara berlebihan yang malah mempertegas adanya dikotomi antara sekolah “favorit” dan sekolah lain. Masyarakat secara umum harus mulai mengakui bahwa semua sekolah sama, dan secara khusus masyarakat pendidikan juga harus mulai melakukan evaluasi dan refleksi secara mendalam terhadap penerapan sistem pendidikan yang selama ini dijalankan apakah sudah sesuai dengan kebutuhan dari pencapaian pendidikan sebagaimana substansi pendidikan dan penerapan ilmu pengetahuan di tengah-tengah dinamika masyarakat global.

Wallahu a’lam Bishawab

Alfianur Rizal R.R.A
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: