IPMJATIM.OR.ID – Ada dua respon. Pertama, menurut saya kita harus membangun diri kita agar tidak bisa diserang. Jadi ada banyak serangan apapun kita tidak bisa diserang. Itu banyak klausul jawa misalnya; menang tanpo ngasorake (menyerang atau berjuang itu tanpa perlu harus membawa massa dan bala bantuan) dan ora tedas tapak paluning pande (kebal dari senjata tajam). Jadi ada serangan seperti apa pun kepada kita tidak akan pernah merasa diserang. Jadi kita tidak perlu menyerang pun karena mereka tidak bisa menyerang kita. Wamaa ramaita idz ramaita, walaakinnallaaha ramaa (bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar). Jadi ada banyak sekali wacana-wacana baik dari sisi sosial-budaya maupun tasawuf untuk merespon ini.
Kedua, urusan menyerang atau diserang merupakan urusan kalah dan menang. Jadi kita secara manusiawi ingin selalu merasa menang. Supaya menang, pertanyaannya adalah menunggu diserang baru membalas atau kita menyerang duluan. Tapi yang jelas bahwa titik ujungnya adalah kalah atau menang. Dalam Islam sendiri yang saya ketahui tidak ada kemenangan kecuali kita diridhoi oleh Allah SWT. Jadi ada innallaha ma’ana (kalau kita bersama Allah kita tidak akan bisa kalah). Meskipun teori atau batasan tentang kalah atau menang ini agak berbeda bahkan bertentangan antara pandangan Allah dengan pandangan kita sebagai manusia.
Kita tidak pernah menyerang orang, tapi kita sering diserang orang, tapi kita tidak pernah merasa diserang orang lain. Bahkan ketika kita mau dibunuh pun akan tetapi yang menentukan mati adalah Allah. Yang namanya menang itu bukan menang di atas orang lain, tapi kita menang atas diri kita sendiri. Rasulullah sendiri mengatakan bahwa jihad terbesar adalah jihad memenangkan hawa nafsu sendiri. Jadi dalam orientasi ke dua ini kita khawatir kalah dan inginnya menang.
Mengutip Pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ayahanda Haedar Nashir :
“Kalau kita tidak suka dengan jalan orang, bikinlah jalan sendiri yang lebih baik. Sudah tinggi waktunya umat Islam dan Muhammadiyah memberi jawaban-jawaban atas masalah yang pelik dengan pandangan yang luas dan langkah yang strategis, serta membuahkan hasil yang terbaik. Bahwa umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama”. Inilah yang disebut Muhammadiyah sebagai era al-jihad lil-muwajahah, yakni perjuangan sungguh-sungguh membangun sesuatu yang unggul sebagai pilihan terbaik atas hal yang tidak dikehendaki.
Maka sekarang coba kita elaborasi dan teliti kembali bahwa menang itu apa di dalam diri kita. Karena bisa saja kita tidak perlu menyerang tapi menimbulkan serangan kalau Allah berkehendak. Terkadang kita diam dan melirik orang lain saja orang tersebut sudah merasa curiga dengan kita, padahal kita diam saja. Contoh lain ketika ibu atau bapak kita datang ke rumah dengan sikap diam seribu bahasa itu sudah menjadi sebuah serangan yang luar biasa. Sebenarnya menyerang, serangan dan diserang itu nilai atau sistem yang ada dalam diri kita bermacam-macam.
Bagaimana caranya agar kita seandainya diserang tidak merasa diserang? Kita harus berada pada tonggaknya Allah SWT (wa’tasimu bihablillahi jamian) dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama). Jadi kita berdiri tegak di titik tonggak, hakikat dan eksistensi Allah SWT. Kalau kita berada pada kebenaran Allah, maka serangan apapun akan punya akibat tersendiri atas kehendak Allah, tidak harus atas diri kita sebagai manusia. Jadi, tidak bisa diserang itu bahwa kita pada posisi inti kebenaran, barokah, dan izin dari Allah.
Meskipun hal ini terlalu mewah, tapi yang mengganggu kita adalah psikologi-sosial atau psikologi-budaya di antara masyarakat. Kalau ada A maka kita harus membalas dengan A, kalau tidak dibalas maka akan gengsi dan serba rasa bersalah serta tidak enakan lainnya. Bagi saya tidak ada urusan kalah atau menang, karena saya menang saja tidak mau apalagi kalah. Karena menang bagi saya adalah bukan saya unggul atas anda, tapi ketika Allah ridho kepada saya dan mengakui sikap kebenaran hidup saya.
Lalu bagaimana kita tahu kapan kita diserang dan melakukan serangan? Memang diperlukan kesadaran dan kesabaran terhadap waktu. Karena posisi tonggak yang saya maksud tadi tidak serta merta langsung nampak. Metodenya adalah istiqomah yaitu berdiri di suatu titik dalam jangka waktu yang panjang. Karena kesabaran dalah urusannya bersama waktu. Sering terdengar orang berkata bahwa sabar ada batasnya. Ini pernyataan yang mengandaikan bahwa ada garis yang membatasi antara sesuatu yang-bisa-disabari (“sabar-able”) dan yang-tak-bisa-disabari (“un-sabar-able”). [Note: Bersabar tidak selalu bermakna pasif (sabar dari…); ia bisa juga aktif, yakni sabar untuk melakukan sesuatu]. Jadi misalnya, satu tahun ini kita merasa goyah atau awal-awal kita roboh tapi kita masih bisa istiqomah. Istiqomah itu yastaqiim (kita tegak di suatu titik atau keyakinan).
Kemudian Allah pada akhirnya akan mengelaborasi – afahasibtum annama khalaqnakum ‘abatsan (apa kamu pikir saya main-main menciptakan manusia? Allah tidak main-main, maka kamu juga jangan main-main kepada ciptaanku, karena saya tidak akan main-main kepadamu. Jadi nomer satu adalah kesungguhan hidup, kalu sudah seperti itu kita tidak akan pernah diserang. Maka kalau ada serangan kepada hamba yang tegak itu, maka yang diserang adalah bukan dia tapi Allah. Nah yang membalas juga Allah, keyakinan itu yang harus kita tanamkan dalam diri kita masing-masing.
Oleh :
Nashir Effendi
Ketua Bidang Perkaderan PW IPM Jawa Timur periode 2018-2020