IPMJATIM.OR.ID-Omnibus Law sedang menjadi tema Indonesia saat ini. Seakan menggambarkan bahwa negeri ini sedang memerah, semerah luapan amarah rakyat. Juga menghitam, sehitam rasa duka atas sebuah kematian. Dari dua hal tersebut, rasanya warna abu-abu tidak boleh dilupakan. Tentu saja, pengesahan ini memang sangat membingungkan. Hingga jadilah tulisan ringan ini, yang lahir dari rahim kebingungan.
Penolakan terhadap Omnibus Law datang dari segala arah. Bukan main, Pimpinan Pusat Muhammadiyah sangat tegas menentang. Sebagaimana disampaikan oleh Busyro Muqaddas (dikutip dari CNN) bahwa RUU ini bertentangan dan bertubrukan dengan ideologi Pancasila. Selain itu, juga mengandung pemikiran atau konsep yang mencerminkan konstitusional obedience, pembangkangan terhadap konstitusi.
Tidak hanya dari Muhammadiyah, penolakan juga berasal dari Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU). M Maksum Machfoedz menyebut bahwa RUU Ciptaker penuh dengan kezaliman terhadap rakyat kecil. Menurutnya, pembahasan RUU tersebut seharusnya dihentikan. Sayangnya, meskipun penolakan ini berasal dari dua elemen besar pembangun negara Indonesia, pemerintah masih belum sadar.
Selain berasal dari Ormas, tentu saja saya banyak menemui penolakan dari rakyat. Mulai dari tokoh masyarakat, akademisi, pekerja, aktivis, hingga siswa yang masih duduk di bangku sekolah. Dalam gerakan keilmuan, tidak terhitung lagi berapa banyak diskusi tentang omnibus law yang kental dengan nalar kritis. Mestinya, hal tersebut sudah sangat layak dijadikan landasan bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengkaji ulang hingga menghentikan pembahasan RUU yang menimbulkan kegaduhan tersebut.
RUU omnibus memang dianggap menguntungkan investor. Tetapi, nyatanya ada 35 Investor Global yang tidak menyepakati. Mengutip dari tirto.id, mereka menganggap dengan adanya RUU tersebut, akan memberi dampak yang parah terhadap lingkungan, hak asasi manusia dan ketenagakerjaan. Dalam hal ini mata kita dibuka lebar, bahwa investor yang bisa saja diuntungkan, juga menolak dengan tegas.
Saya heran, sekaligus bingung. Rasanya, narasi intelektual tidak pernah mampu mengetuk hati pemerintah. Kok bisa-bisanya tidak ada satu pun yang didengar? Seluruh penjuru negeri ramai menolak Omnibus, kok yang terjadi malah ngebut? Pengesahan yang dikebut di tengah hujan kritik dan penolakan memang menimbulkan tanya. Boleh saja DPR bekerja dengan cepat, tapi bukan begini caranya. Apa salahnya istirahat sejenak, sembari mendengarkan?
Selanjutnya, saya merasa pemerintah sedang salfok dalam merespon isu aktual. Saat ini yang menjadi isu penting global adalah pandemi covid-19. Secara refleks, yang dibahas seharusnya bagaimana cara menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan oleh virus ini. Bukan malah mendahulukan, apalagi mempercepat pembahasan RUU yang tidak mendesak.
Dari fenomena yang terjadi saat ini, kita menyadari bahwa pendekatan ilmu atau sains sangat diperlukan untuk menemukan solusi. Maka, saya ingin menyertakan hasil survei yang dikemukakan oleh 3M, perusahaan global berbasis pengetahuan ilmiah dan teknologi, melalui State of Science Indeks (SOSI), sebuah lembaga penelitian independen. Survei ini dilakukan dengan responden sekitar 14.000 orang dari 14 negara untuk mengukur perubahan sikap masyarakat terhadap sains dan mengetahui peran sains dalam menciptakan masa depan yang lebih baik. Hasilnya sebanyak 87 persen masyarakat secara global percaya bahwa sains dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah dunia. Bukankah dalam membuat kebijakan publik juga memerlukan dialog ilmiah?
Barangkali di akhir tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa betapa pentingnya keilmuan bagi siapa pun dan untuk melakukan apa pun. Segala sesuatu yang tidak berbasis ilmu – ditambah moral, akan berakhir dengan kegaduhan yang luar biasa. Pelajar Muhammadiyah yang dicirikan dengan gerakan ilmu tentu tidak boleh terbawa dalam budaya menutup telinga, apalagi sambil berlari.
Oleh:
Ferry Martasonar
Kabid PIP PW IPM JATIM 2018-2020