IPMJATIM.OR.ID – Dalam frase Jawa dikenal istilah sawang sinawang yang dalam bahasa ilmu sosial biasa disebut persepsi. Kita mengenal dan menilai orang di sekitar kita mungkin sekali lebih banyak berdasarkan persepsi, dimulai dengan melihat dan mendengar apa kata orang. Terlebih sekarang berita dan gosp lewat medsos telah menjadi konsumsi sehari-hari, sehingga apa yang kita katakan dan nilai tentang orang lain tak lebih hanya persepsi.
Orang saling memandang, menduga-duga, lalu menyimpulkan sendiri. Seterusnya disebar lewat medsos semacam Twitter, Facebook atau Whatsapp. Mungkin sekali asupan pikiran lewat medsos itu tak ubahnya menjadi junkfood, makanan yang tak lagi bergizi meskipun bergairah melahapnya serta murah harganya. Disebut murah pun sesungguhnya tidak, karena kita membayar pulsa dan membuang waktu hanya untuk bergosip.
Saya mengamati beberapa orang yang ikut WAG (Whatsapp Group) lebih dari sepuluh. Setiap hari pesan yang masuk bisa di atas 500. Bayangkan, berapa lama waktu untuk membaca dan merespon, belum lagi mesti berpikir dan menuliskannya dengan jari. Menulis pesan pendek lewat medsos biasanya dilakukan terburu-buru, sambil lalu, dan tidak mendalam. Logika dan bahasanya juga tidak terstruktur dengan baik.
Jika hal ini menjadi kebiasaaan, sangat mungkin membuat otak kita tidak terlatih berpikir dan menulis secara sistematis, reflektif dan mendalam. Ini kurang bagus dampaknya bagi kita yang masih muda. Mereka juga tidak terbiasa membaca novel yang tebal. Padahal novel yang bagus sangat membantu untuk mengembangkan imajinasi dan menambah wawasan hidup. Juga memperkaya khazanah berbahasa yang indah.
Sebagian besar isi otak dan rekaman emosi kita jangan-jangan produk persepsi, bukan informasi ilmiah ataupun informasi yang sahih dan valid. Jika betul demikian keadaannya, sungguh disayangkan. Kalau kita membeli hardisk, tentu yang hendak kita rekam dan simpan adalah memori yang baik dan berguna. Ketika kita membeli lemari pakaian, yang kita simpan adalah pakaian bersih dan tertata rapi. Apa yang terjadi jika pakaian kotor dan sampah yang kita simpan? Pasti bau dan tidak sehat.
Ungkapan sawang sinawang dalam bahasa Jawa memiliki nilai positif, ketika disadari prasangka baik kepada orang lain. Tidak baik kita cepat-cepat menilai dan menghakimi orang lain hanya berdasar kesan dan penglihatan. Hanya berdasar kata orang. Tetapi kita juga tidak dibenarkan menyelidiki serba ingin tahu kehidupan pribadi seseorang. Karena itu, berprasangkan baik lebih didahulukan dan diutamakan ketimbang prasangka buruk.
Lebih dari itu, jangan mudah silau dan iri melihat orang lain yang kelihatannya mewah dan gemerlah hidupnya. Urip iku wang sinawang. Hidup sejatinya hanya saling memandang dan menduga-duga. Di balik gemerlap hidup seseorang, pasti menyimpan problem yang disembunyikan, karena tak ada kehidupan tanpa ada masalah.
Sebaliknya, kita sering kali terkecoh dengan penampilan seseorang yang kelihatannya miskin atau sederhana, ternyata dia memiliki kekayaan yang berlimpah atau kebahagiaan hidup yang tidak kita miliki. Karena itu, mengingat hidup ini saling sawang sinawang, maka ojo gumunan. Jangan mudah kagum terhadap penampilan seseorang. Jangan mudah silau lalu minder atau berkecil hati. Jangan mudah berkecil hati. Ojo kagetan. Jangan mudah kaget melihat dan bertemu seseorang yang penampilan awalnya memukau.
Saya menuliskan ini karena terstimulasi oleh lingkungan sosial yang sering kali asyik bergunjing membicarakan pesan singkat, kutipan dan gambar yang beredar di medsos. Di antara pesan-pesan dan kutipan-kutipan itu banyak pula yang bagus, berisi kutipan ayat-ayat suci, kalimat bijak dan gambar yang mengandung aha (Aha adalah ekspresi kaget)!.Namun, jangan-jangan semua itu easy come, easy go. Tak sempat dicerna dan direkam mendalam dalam hati dan pikiran, bagaikan angin lalu atau air lewat.
Oleh :
Nashir Effendi
Ketua Bidang Perkaderan PW IPM Jawa Timur periode 2018-2020