Oleh: Azmi Izuddin*
Ramadan, Kota Surabaya menjadi lebih sibuk dari biasanya. Orang-orang berlomba-lomba menunaikan ibadah, bekerja singkat terus buru-buru pulang demi bisa buka puasa bareng keluarganya. Namun, di antara semua kesibukan itu, ada satu tempat yang menjadi oasis bagi banyak orang, martabak telur Bu Liana.
Benar. Bu Liana ialah seorang ibu pembuat dan penjual martabak telur selama lebih dari 10 tahun. Ia dikenal karena martabaknya yang lezat dan harganya cuma 2000an. Bagi banyak orang, warung Bu Liana begitu spesial, karena dirasa ada kebaikan dan kesabaran yang ia tunjukkan kepada setiap pelanggan. Tidak dimiliki oleh penjual lain.
Setiap harinya, wanita paruh baya dengan senyum hangat itu, menggoreng martabak dengan cekatan. Tangannya yang lincah melipat adonan, menuangkan telur, dan menaburkan daun bawang, menciptakan aroma gurih yang menggoda siapa saja yang lewat. Kemudian dijual di depan rumah mulai pukul 15.00 sampai menjelang maghrib. Memang tidak banyak yang dijual, tapi hal itu cukup untuk kebutuhan Bu Liana.
Pernah suatu hari, saat kurang satu pekan sebelum Ramadan, seorang pemuda rantau datang ke Bu Liana dengan wajah yang lelah dan lapar. Ia memesan martabak telur 2 buah. Bu Liana menyajikan hidangan tersebut dengan senyum dan doa ditambah teh hangat buatannya.
Pelanggan itu terkejut saat Bu Liana memberinya hidangan tambahan, yaitu 2 buah martabak dan beberapa potong buah. “Ini untuk nambah kesegaran, anak muda,” kata Bu Liana dengan lembut.
Pelanggan itu merasa terharu dan bersyukur atas kebaikan Bu Liana. Ia meminta izin untuk membantu Bu Liana di warungnya selama Ramadan. Bu Liana menerima tawaran itu dengan senang hati.
Bersama-sama, mereka bekerja keras untuk menyajikan hidangan yang lezat dan berkah bagi pelanggan. Mereka berbagi cerita, doa, dan kebaikan, sehingga warung martabak Bu Liana menjadi tempat yang tidak hanya menyajikan martabak telur, tetapi juga menyajikan kehangatan dan kebersamaan.
Ada satu hal kebiasaan kecil yang membuat Bu Liana tidak pernah terlewat. Yang membuatnya cukup atas hal kehidupan sekarang. Terhindar dari keserakahan dan ketamakan dunia. Ia istiqamah membaca Al-Quran sebelum adzan subuh berkumandang. Tidak banyak yang dibaca. Palingan hanya 2 halaman setiap harinya. Se penat apapun keadaannya, Bu Liana tetap menomorsatukan kebiasaan ini. Hingga akhirnya menjadi hal yang mudah untuk melakukannya.
Ramadan pun tiba, warung martabak Bu Liana menjadi oasis yang menyegarkan dan memberkahi. Bu Liana dan pelanggan itu belajar bahwa kebaikan dan kesabaran dapat menjadi sumber berkah yang tak terhingga, bahkan di tengah kesibukan yang paling sibuk sekalipun.
Keberkahan menghampiri Bu Liana, warung martabak yang biasanya buka sampai menjelang buka itu, kali ini tutup sama sekali. Tutup karena banyak pesanan dari masjid-masjid sekitarnya. Hingga akhir Ramadan. Dan jumlah pesanannya lebih dari biasanya yang dibuat Bu Liana.
###
Sengaja. Bu Liana tidak membuka warung lagi. Tidak menerima pesanan lagi. Apalagi membuka toko cabang. Bu Liana tetap istiqamah dengan niat awalnya. Ingin mengisi Ramadan dengan penuh ketaqwaan dalam ketaatan. Beribadah tanpa diusik hati keserakahan. Bisa saja Bu Liana membuka toko martabak di waktu Ramadan untuk memperoleh hasil yang lebih. Tapi hatinya berbisik, “Alangkah lebih baiknya lagi mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.”
Baginya disiplin dalam ketaatan adalah anugerah terindah dari Allah. Menurutnya, jjika ada hati yang menggerakkan kedalam ketaqwaan dalam ketaatan ini merupakan suatu mukjizat yang luar biasa. Karena bagi Bu Liana ketika telah istiqamah dalam ketaatan itu tidak membuat mengekang kehidupannya, tetapi malah membebaskan dalam menjalankan kehidupan dunia.
Diawali kebiasaan kecil membaca Al-Quran sebelum subuh kemudian menjaga disiplin dalam ketaatan-Nya, menjadikan Allah tak rela melihat hambanya dalam kesusahan dan hal-hal buruk menimpanya.
*)Direktur Lembaga Puskominfo PW IPM Jawa Timur